SEMANTIK DAN PRAGMATI
Pengertian Semantik
Kata semantik sebenarnya merupakan
istilah teknis yang mengacu pada studi tentang makna. Istilah ini merupakan
istilah baru dalam bahasa Inggris. Para ahli bahasa memberikan pengertian
semantik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari hubungan antara
tanda-tanda linguistik atau tanda-tanda lingual dengan hal-hal yang ditandainya
(makna). Istilah lain yang pernah digunakan hal yang sama adalah semiotika,
semiologi, semasiologi, dan semetik. Pembicaraan tentang makna kata pun menjadi
objek semantik. Itu sebabnya Lehrer (1974:1) mengatakan bahwa semantik adalah
studi tentang makna (lihat juga Lyons 1, 1977:1), bagi Lehrer semantik
merupakan bidang kajian yang sangat luas karena turut menyinggung aspek-aspek
struktur dan fungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan psikologi,
filsafat, dan antropologi. Pendapat yang berbunyi “semantic adalah studi
tentang makna” dikemukakan pula oleh Kambartel (dalam Bauerle, 1979:195).
Menurutnya semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang
menampakkan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia
manusia. Sedangkan Verhaar (1983:124) mengatakan bahwa semantik berarti teori
makna atau teori arti. Batasan yang hampir sama ditemukan pula dalam Ensiklopedia
Britanika (Encyclopaedia Britanica, Vol. 20, 1965:313) yang terjemahannya
“Semantik adalah studi tentang hubungan antara suatu pembeda linguistic dengan
hubungan proses mental atau simbol dalam aktifitas bicara.” Soal makna menjadi
urusan semantik. Berdasarkan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa semantik
adalah subdisiplin linguistik yang membicarakan makna. Dengan kata lain
semantik berobjekkan makna.
B. Deskripsi Semantik
Kempson (dalam Aarts dan Calbert,
1979:1) berpendapat, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk mendeskripsikan
semantik. Keempat syarat itu adalah: 1. Teori itu harus dapat meramalkan makna
setiap satuan yang muncul yang didasarkan pada satuan leksikal yang membentuk
kalimat. 2. Teori itu harus merupakan seperangkat kaidah. 3. Tori itu harus
membedakan kalimat yang secara gramatikal benar dan yangt tidak dilihat dari
segi semantik. 4. Teori tersebut dapat meramalkan makna yang berhubungan dengan
antonym, kontradiksi, sinonim. Dalam kaitannya dengan semiotik, Morris (1983)
(dalam Levinson, 1983:1) mengemukakan tiga subbagian yang perlu dikaji, yakni :
(i) Sintaksis (syntactic) yang mempelajari hubungan formal antara tanda dengan
tanda yang lain (ii) Semantik (semantics), yakni studi tentang hubungan tanda
dengan objek, (iii) Pragmatik (pragmatics), yakni studi tentang hubungan tanda
dalam pemakaian. Manusia berkomunikasi melalui kalimat. Kalimat yang
berunsurkan kata dan unsur suprasegmental dibebani unsure yang disebut makna,
baik makna gramatikal maupun makna leksikal, yang semuanya harus ditafsirkan
atau dimaknakan dalam pemakaian bahasa. Diantara pembicara dan pendengar pun
terdapat unsure yang kadang-kadang tidak menampak dalam ujaran. Ujaran yang
berbunyi, “Saya marah, Saudara!” terlalu banyak perlu dipersoalkan; misalnya, mengapa
ia memarahi saya; apakah karena tidak meminjami uang lalu ia memarahi saya? Dan
apakah akibat kemarahan itu? Kelihatannya tidak mudah mendeskripsikan semantik.
Untunglah hal yang dideskripsikan masih berada di dalam ruang lingkup jangkauan
manusia.
C. Klasifikasi Makna
Makna dapat diklasifikasikan atas
beberapa kemungkinan sebagai mana diuraikan berikut ini. 1. Makna Leksikal dan
Makna Gramatikal • Makna leksikal adalah makna leksikon/leksen atau kata yang
berdiri sendiri, tidak berada dalam konteks, atau terlepas dari konteks. Ada
yang mengatakan bahwa makna leksikal adalah yang terdapat dalam kamus. Makna
leksikal merupakan makna yang diakui ada dalam leksem atau leksikon tanpa
leksikon itu digunakan. Begitu kata amplop dapat diberi makna “sampul surat”,
dengan tanpa menggunakan kata itu dalam konteks. Maka makna “sampul surat” yang
terkandung dalam kata amplop itu merupakan makna leksikal. • Makna gramatikal
merupakan makna yang timbul karena peristiwa gramatikal. Makna gramatikal itu
dikenali dalam kaitannya dengan unsur yang lain dalam satuan gramatikal. Jika
satuan yang lain itu merupakan konteks, makna gramatikal itu disebut juga makna
kontekstual. Dalam konteks itu, kata amplop, misalnya, tidak lagi bermakna
“sampul surat”, tetapi dapat berarti uang suap. Makna gramatikal tidak hanya
berlaku bagi kata atau unsur leksikal, tetapi juga morfem. Makna gramatikal
juga dapat berupa hubungan semantis antar unsur. 2. Makna Denotatif dan Makna
Konotatif Makna denotatif merupakan makna dasar suatu kata atau satuan bahasa
yang bebas dari nilai rasa. Makna konotatif adalah makna kata atau satuan
lingual yang merupakan makna tambahan, yang berupa nilai rasa. Nilai rasa itu
bisa bersifat positif, bersifat negatif, bersifat halus, atau bersifat kasar.
Dua buah kata atau lebih memiliki makna denotatif yang sama. Perbedaannya
terletak pada makna konotatifnya. Kata kamu dan anda, misalnya, memiliki makna
denotatif yang sama, yakni “orang kedua tunggal”. Kedua kata itu berbeda makna
konotatifnya . Kata kamu berkonotasi “kasar”, kecuali bagi orang-orang
Tapanuli/Batak, dan kata anda berkonotasi halus. Demikian juga kata dia dan
beliau. Kedua kata itu berdenotasi “orang ketiga tunggal”, tetapi kata dia
tidak berkonotasi “hormat”, sedangkan kata beliau berkonotasi “hormat”. Dengan
kata lain, kata beliau bermakna konotasi “positif”, sedangkan kata dia tidak
berkonotasi “positif”. Karena tidak berkonotasi “negatif”, kata dia dapat
ditafsirkan berkonotasi “netral” (periksa Chair, 1990:68). Nilai positif dan
negatif yang menjadi ukuran nilai rasa, dapat dinyatakan dengan berbagai cara.
Hormat dan tidak hormat menggambarkan nilai rasa. Sopan dan tidak sopan juga
menggambarkan nilai rasa. 3. Makna Lugas dan Makna Kias Makna lugas merupakan
makna yang sebenarnya. Makna lugas disebut juga makna langsung, makna yang
belum menyimpang atau belum mengalami penyimpangan. Sebaliknya, makna kias
adalah makna yang sudah menyimpang dalam bentuk ada pengiasan hal atau benda
yang dimaksudkan penutur dengan hal atau benda yang sebenarnya. Sebuah kata
dapat digunakan secara lugas dan dapat pula digunakan secara kias. Dengan kata
lain, sebuah kata dapat memiliki makna lugas dan memiliki makna kias. Kedua
kemungkinan itu tergantung pada penggunaannya. Makna kias timbul karena ada
hubungan kemiripan atau persamaan. Orang yang pendek disebut cebol, wanita
nakal disebut kupu-kupu malam. Kadang-kadang, hubungan itu ditampakkan dalam
isi dan wadah, seperti amplop yang berarti “uang suap”. 4. Makna Luas dan Makna
Sempit Dilihat dari segi cakupan atau tingkat keluasan makna dua buah kata,
makna dapat dibedakan menjadi dua kategori, yakni makna luas dan makna sempit.
Makna luas merupakan akibat perkembangan makna suatu tanda bahasa. Contoh
klasik yang paling populer dalam studi semantik bahasa Indonesia adalah kata
saudara, yang tidak hanya bermakna “saudara satu bapak/ibu”, tetapi juga “orang
lain yang tidak ada hubungan darah.”. Makna kitab “buku” merupakan makna
sempit. Kitab yang berarti “buku” itu tidak lagi “sembarang buku”. Sekarang
kata kitab lebih bermakna “buku suci” seperti yang tampak dalam pemakaian kitab
Al-Qur’an, kitab Injil, kitab Zabur dan seterusnya. Pada tahun 1960-an kata
kitab itu masih memiliki makna yang tidak hanya terbatas pada kitab suci,
tetapi juga kitab-kitab yang lain (buku). Dalam kehidupan sehari-hari sering
kita dengar juga ungkapan “dalam arti luas” atau “dalam arti sempit”, seperti
yang dapat dikenakan pada kata taqwa. Kata taqwa itu dalam arti luas adalah
“berserah diri kepada Allah” dan dalam arti sempit adalah “menjalankan segala
perintah Allah dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya”. Dengan demikian,
makna luas dan makna sempit itu tidak hanya karena perubahan makna, tetapi juga
karena tingkat cakupan makna yang sudah terkotak menjadi dua, yakni makna luas
dan makna sempit.
D. Relasi Makna
Antarmakna dua tanda bahasa atau
lebih dapat berelasi. Dalam kajian semantik, relasi makna-makna itu
dipilah-pilah atas sejumlah kategori. Setiap kategori itu dijelaskan pada
uraian berikut: 1. Sinonimi Sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantic yang
menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran
lainnya. Misalnya, antara kata betul dengan kata benar. Dua buah ujaran yang
bersinonim maknanya tidak akan persis sama. Ketidak samaan itu terjadi karena berbagai
faktor, antara lain: Pertama, faktor waktu.Umpamanya kata hulubalang bersinonim
dengan kata komandan. Namun, kata hulubalang memiliki pengertian klasik
sedangkan kata komandan tidak memiliki pengertian klasik. Dengan kata lain,
kata hulubalang hanya cocok digunakan pada konteks yang bersifat klasik;
padahal kata komandan tidak cocok untuk konteks klasik itu. Kedua, faktor
tempat atau wilayah. Misalnya, kata saya dan beta adalah dua buah kata yang
bersinonim. Namun, kata saya dapat digunakan dimana saja, sedangkan kata beta
hanya cocok untuk wilayah Indonesia bagian timur, atau dalam konteks masyarakat
yang berasal dari Indonesia bagian timur. Ketiga, faktor keformalan. Misalnya,
kata uang dan duit adalah dua buah kata yang bersinonim. Namun, kata uang dapat
digunakan dalam ragam formal dan tak formal, sedangkan kata duit hanya cocok
untuk ragam tak formal. Keempat, faktor sosial. Umpamanya, kata saya dan aku
adalah dua buah kata yang bersinonim. Tetapi kata saya dapat digunakan oleh
siapa saja dan kepada siapa saja. Sedangkan kata aku hanya dapat digunakan
terhadap orang yang sebaya, yang dianggap akrab, atau kepada yang lebih muda
atau lebih rendah kedudukannya. Kelima, bidang kegiatan. Umpamanya kata
matahari dan surya adalah dua buah kata yang bersinonim. Namun, kata matahari
bisa digunakan dalam kegiatan apa saja, atau dapat digunakan secara umum;
sedangkan kata surya hanya cocok digunakan pada ragam khusus. Terutama ragam
sastra. Keenam, faktor nuansa makna. Umpamanya kata-kata melihat, melirik, menonton,
meninijau, dan mengintip adalah sejumlah kata yang bersinonim. Tetapi antara
yang satu dengan yang lainnya tudak selalu dapat dipertukarkan, karena
masing-masing memiliki nuansa makna yang tidak sama. Kata melihat memiliki
makna umum; kata melirik memiliki makna melihat dengan sudut mata; kata
menonton memiliki makna melihat untuk kesenangan; kata meninjau memiliki makna
melihat dari tempat jauh; dan kata mengintip memiliki makna melihat dari atau
melalui celah sempit. Dengan demikian, jelas kata menonton tidak dapat diganti
dengan kata melirik karena memiliki nuansa makna yang berbeda, meskipun kedua
kata itu dianggap bersinonim. Dari keenam faktor yang dibicarakan diatas, bisa
disimpulkan,bahwa dua kata yang bersinonim tidak akan selalu dapat dipertukarkan
atau disubstitusikan. 2. Antonimi Istilah antonimi (Inggris: antonymy berasal
dari bahasa Yunani Kuno anoma= nama, dan anti= melawan). Makna harafiahnya,
nama lain untuk benda yang lain. Verhaar (1983:133) mengatakan: “Antonim adalah
ungkapan(biasanya kata, tetapi dapat juga frasa atau kalimat) yang dianggap
kebalikan dari ungkapan lain”. Secara mudah dapat dikatakan, antonim adalah
kata-kata yang maknanya berlawanan. Istilah antonim kadang-kadang
dipertentangkan dengan istilah sinonim, tetapi status kedua istilah ini
berbeda. Antonim biasanya teratur dan terdapat identifikasi secara tepat.
Contoh kata-kata yang antonim. besar x kecil lebar x sempit panjang x pendek 3.
Hiponimi Istilah hiponimi (Inggris: hyponymy berasal dari bahasa Yunani Kuno anoma
= nama, dan hypo = di bawah). Secara harafiah istilah hiponimi adalah nama yang
termasuk di bawah nama lain. Verhaar (1983:131) mengatakan: “Hiponim ialah
ungkapan (kata biasanya atau kiranya dapat juga frase atau kalimat) yang
maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain.”. Istilah
hiponim dalam bahasa Indonesia boleh digunakan sebagai nominal, boleh juga
ajektiva. Kita mengetahui bahwa aster, bogenfil, ros, tulip semuanya disebut
bunga. Kata-kata ini dapat diganti dengan kata umum, bunga. Hubungan seperti
ini oleh Lyons (I, 1977:291) disebutnya hyponymy (lihat juga Palmer 1976:76).
Kata bunga yang berada pada tingkat atas dalam system hierarkinya disebut
superordinat dan anggota-anggota berupa aster, bogenfil yang berada pada tingkat
bawah, disebut hiponim. Berbeda dengan antonim, homonim, dan sinonim, maka
hiponim mempunyai hubungan yang berlaku satu arah. Kata merah merupakan hiponim
warna; kata warna tidak berada di bawah merah melainkan di atas kata merah.
warna merah merah warna Dengan demikian kata warna memiliki hiponim segala
macam warna yang kita kenal, misalnya merah, jingga, hijau. Kata warna
merupakan superordinat dari kata merah, jingga, hijau atau kata warna hipernimi
(Inggris: hypernymy) kata merah. 4. Homonimi Homonimi adalah dua buah kata atau
satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama; maknanya tentu saja berbeda,
karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Misalnya
antara kata pacar yang bermakna ‘inai’ dan kata pacar yang bermakna ‘kekasih’;
antara kata bisa yang berarti ‘racun ular’ dan kata bisa yang berarti
‘sanggup’; dan juga antara kata mengurus yang berarti ‘mengatur’ dan kata
mengurus yang berarti ‘menjadi kurus’. Sama dengan sinonimi dan antonimi,
relasi antara dua buah satuan ujaran yang homonimi juga berlaku dua arah. Jadi
kalau pacar I yang bermakna ‘inai’ berhomonim dengan kata pacar II yang
bermakna ‘kekasih’ maka pacar II juga berhomonim dengan pacar I. Pada kasus
homonimi ini ada dua istilah lain yang biasa dibicarakan, yaitu homofoni dan
homografi. Yang dimaksud dengan homofoni adalah adanya kesamaan bunyi antara
dua satuan ujran, tanpa memperhatikan ejaannya, apakah ejaannya sama ataukah
berbeda. Istilah homografi mengacu pada bentuk ujaran yang sama ortografinya
atau ejaannya, tetapi ucapan dan maknanya tidak sama. Contoh homografi yang ada
dalam bahasa Indonesia tidak banyak. Kita hanya menemukan kata teras/təras/yang
maknanya ‘inti’ dan kata teras/teras/yang maknanya ‘bagian serambi rumah’. 5.
Polisemi Sebuah kata atau satuan ujaran disebut polisemi jika kata itu
mempunyai makna lebih dari satu. Misalnya, kata kepala yang setidaknya
mempunyai makna (1) bagian tubuh manusia, (2) ketua atau pemimpin, (3) sesuatu
yang berada disebelah atas, (4) sesuatu yang berbentuk bulat. Dalam kasus
polisemi ini, biasanya makna pertama (yang didaftarkan di dalam kamus) adalah
makna sebenarnya, makna leksikalnya, makna denotatifnya, atau makna
konseptualnya. Yang lain adalah makna-makna yang dikembangkan berdasarkan salah
satu komponen makna yang dimiliki kata atau satuan ujaran itu. 6. Ambiguiti
Ambiguity adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran
gramatikal yang berbeda. Tafsiran gramatikal yang berbeda ini umumnya terjadi
pada bahasa tulis, karena dalam bahasa tulis unsur suprasekmental tidak dapat
digambarkan dengan akurat. Misalnya, bentuk buku sejarah baru dapat ditafsirkan
maknanya menjadi (1) buku sejarah itu baru terbit, atau (2) buku itu memuat
sejarah zaman baru. Kemungkinan makna 1 dan 2 itu terjadi karena kata baru yang
ada dalam kontruksi itu, dapat dianggap menerangkan frase buku sejarah, dapat
juga dianggap hanya menerangkan kata sejarah. 7. Redundansi Istilah redundansi
biasanya diartikan sebagai berlebih-lebihannya penggunaan unsur segmental dalam
suatu bentuk ujaran. Misalnya kalimat bola itu ditendang oleh Novi tidak akan
berbeda maknanya bila dikatakan bola itu ditendang Novi. Jadi, tanpa
menggunakan preposisi oleh. Penggunaan kata oleh inilah yang dianggap
redundansi.
E. Perubahan Makna
1. Sebab-Sebab Perubahan Makna Perubahan makna yang
pertama, perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi.adanya perkembangan
keilmuan dan teknologi dapat menyebabkan sebuah kata yang pada mulanya bermakna
A menjadi bermakna B atau bermakna C.Misalnya, kata sastra ‘tulisan, huruf’lalu
berubah menjadi bermakna ‘bacaan’; kemudian berubah lagi menjadi bermakna ‘buku
yang baik isinya dan baik pula bahasanya’. Selanjutnya, berkembang lagi menjadi
‘karya bahasa yang bersifat imaginative dan kreatif’. Perubahan makna kata
sastra seperti yang kita sebutkan itu adalah karena berkembangnya atau
berubahnya konsep tentang sastra itu didalam ilmu sussastra. Perkembangan dalam
bidang teknologi juga menyebabkan terjadinya perubahan makna kata. Misalnya,
dulu kapal-kapal menggunakan layar untuk dapat bergerak. Oleh karena itu
munculah istilah berlayar dengan makna ‘melakukan dengan kapal atau perahu yang
digerakkan tenaga layar’. Namun, meskipun tenaga penggerak kapal sudah diganti
dengan mesin uap, mesin diesel, mesin turbo, tetapi kata berlayar masih
digunakan untuk menyebut perjalanan di air itu. Kedua, perkembangan social
budaya. Perkembangandalam masyarakat berkenaan dengan sikap social dan budaya,
juga menyebabkan terjadinya perubahan makna. Kata saudara, misalnya,pada
mulanya berarti ‘seperut’, atau ‘orang yang lahir dari kandungan yang sama ‘.
Tetapi kini, kata saudara digunakan juga untuk menyebut orang lain, sebagai
kata sapaan, yang diperkirakan sederajat baik usia maupun kedudukan sosial.
Pada zaman feodal dulu, untuk menyebut orang lain yang dihormati, digunakan
kata tuan. Kini,kata tuan yang berbau feodal itu, kita ganti dengan kata bapak,
yang terasa lebih demokratis. Ketiga, perkembangan pemakaian kata. Setiap
bidang kegiatan atau keilmuan biasanya mempunyai sejumlah kosa kata yang
berkenaan dengan bidangnya itu. Misalnya dalam bidang pertanian kita temukan
kosa kata seperti menggarap, menuai, pupuk, hama, dan panen. Kosa kata yang
pada mulanya digunakan pada bidang-bidangnya itu dalam perkembangan kemudian
digunakan juga dalam bidang-bidang lain,dengan makna yang baru atau agak lain
dengan makna aslinya, yang digunakan dalam bidangnya. Misalnya, kata menggarap
dari bidang pertanian (dengan segala bentuk derivasinya seperti garapan,
penggarap, tergarap,dan penggarapan) digunakan juga dalam bidang lain dengan
makna ‘mengerjakan, membuat’, seperti dalam menggarap skripsi, menggarap naskah
drama, dan menggarap rancangan undang-undang lalu lintas. Keempat, pertukaran
tanggapan indra. Alat indra kita yang lima mempunyai fungsi masing-masing untuk
menangkap gejala-gejala yang terjadi di dunia ini. Misalnya, rasa pedas yang
harusnya ditanggap oleh alat indra perasa lidah menjadi ditanggap oleh alat
pendengar telinga, seperti dalam ujaran kata-katanya sangat pedas. Perubahan
tanggapan indra ini disebut dengan istilah sinestisia. Kelima, adanya asosiasi
yaitu adanya hubungan antara sebuah bentuk ujaran dengan sesuatu yang lain yang
berkenaan dengan bentuk ujaran itu. Misalnya, kata amplop. Makna amplop
sebenarnya adalah ‘sampul surat’ tetapi dalam kalimat (44) berikut, amplop itu
bermakna ‘uang sogok’ (44) Supaya cepat urusan cepat beres, beri saja dia
amplop. Amplop yang sebenarnya harus berisi surat, dalam kalimat itu berisi
uang sogok. Jadi, dalam kalimat itu kata amplop berasosiasi dengan uang sogok.
F. Analisis Makna
Makna merupakan kesatuan mental
pengetahuan dan pengalaman yang terkait dengan lambing bahasa yang mewakilinya.
Makna terdiri atas komponen makna, misalnya makna kata wanita terbentuk dari
komponen makna MANUSIA, DEWASA, PEREMPUAN. Analisis makna, selain dilakukan
dengan bantuan analisis kompinen, dapat dilakukan melalui prototipe. Menurut
pendekatan ini makna kata tidak dapat diuraikan dalam bentuk komponen semantik
karena makna kata batasnya kabur dan keanggotaan dalam satu kategori tidak
ditentikan oleh ada tidaknya komponen-komponen semantic tertentu, tetapi
bergantung pada jarak dari prototipe. Prototipe adalah representasi mental yang
mewakili contoh terbaik satu konsep tertentu. Sebagai contoh, konsep kata mobil
diwakili mobil sedan yang merupakan prototipe konsep mobil. Untuk menentukan
apakah satu kata masih termasuk dalam kategori mobil atau tidak, kata itu harus
dibandingkan dengan prototipe mobil. Misalnya, bus secara pasti dapat
dimasukkan dalam kategori mobil, tetapi bajaj lebih sulit untuk dimasukkan
dalam kategori mobil, karena jarak bajaj dari mobil sedan lebih jauh daripada
jarak bus dengan mobul sedan yang memiliki lebih banyak persamaan. Analisis
makna dengan bantuan prototipe memungkinkan penyusunan kosakata yang termasuk
dalam satu medan makna yang berasal dari ranah tertentu. Pembentukan prototipe
dipengaruhi latar belakang sosial budaya dan lingkungan suatu masyarakat bahas,
misalnya protipe ranah buah-buahan dalam masyarakat Indonesia adalah pisang,
sedangkan dalam masyarakat bahasa yang tinggal di Eropa apel.
G. Makna Pemakaian Bahasa
Makna dan pamakaian bahasa
merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan. berikut ini diulas dua hal yang
menyangkut makna dan pemakaian bahasa itu, yakni makna dan gaya bahasa serta
makna dan bahasa tabu.
1. Makna dan gaya bahasa
Dalam pemakian gaya bahasa, unsur
makna memegang peranan yang dominan. Gaya bahasa selalu berurusan dengan makna
kata. Berbagai jenis gaya bahasa dapat dilacak kekhasannya dari segi makna itu.
Gaya kontras, misalnya, jelas mempertimbangkan oposisi, seperti yang tampak
pada kalimat berikut: a. Anda orang besar, bukan orang sembarangan. b.
Jangankan bertani, buruh pun saya jalani. Gaya klimaks menggunakan oposisi
juga, tetapi oposisi gradual. Perhatikan dua kalimat berikut ini! Silakan maju
semua, kopral, kapten, colonel, dan jendralnya! Saya tidak gentar. Gaya bahasa
yang menunjukkan pengulangan kata-kata bersinonim juga ada. Pengulangan dengan
kata-kata yang bersinonim itu malahan merupakan variasi yang membuat gaya itu
menjadi segar, seperti yang tampak pada contoh berikut. Anda boleh melirik,
melihat, menatap, tetapi jangan melotot. Uraian di atas sekedar gambaran bahwa
makna merupakan unsur bahasa yang berkaitan erat dengan gaya bahasa. Makna
merupakan unsur yang potensial didayagunakan dalam gaya bahas.
2. Makna dan Gaya Bahasa Tabu
Tidak semua kata atau satuan lingual
dalam bahasa layak dalam situasi tertentu. Dengan kata lain, ada satuan bahasa
yang tabu dinyatakan dalam forum tertentu. Tabu itu sendiri sebenarnya
dilatarbelakangi oleh pertimbangan makna. Dikatakan tabu karena makna yang
dikandungnya tidak layak dimunculkan dalam situasi komunikasi. Kepada orang
yang lebih tua tidaklah pantas digunakan kata anda sebagai penyapa. Kata sapaan
bapak dan ibu lebih banyak digunakan. Penutur biasanya tidak kurang akal untuk
menghindari penggunaan kata tabu. Dalam kebudayaan Indonesia, misalnya, ada
keengganan untuk menggunakan kata ganti orang kedua tunggal kamu atau bentuk
posesif mu. Penutur biasanya menghilangkan unsur itu, atau menggantinya dengan
unsure lain yang lebih pantas.
Pengertian Pragmatik
Para pakar pragmatik mendefinisikan
istilah ini secara berbeda-beda. Yule (1996: 3), misalnya, menyebutkan empat
definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang
yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian
tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau
terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut
jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Thomas (1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua
bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan
pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan
menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi
ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan
mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi
antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan
linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran,
mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi
(meaning in interaction). Leech (1983: 6 (dalam Gunarwan 2004: 2)) melihat
pragmatik sebagai bidang kajian dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan
semantik. Keterkaitan ini ia sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik
sebagai bagian dari semantik; pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai
bagian dari pragmatik; dan komplementarisme, atau melihat semantik dan
pragmatik sebagai dua bidang yang saling melengkapi.
B. Interaksi dan Sopan Santun
Seperti telah dikatakan di awal bab ini, hal-hal di
luar bahasa mempengaruhi pemahaman kita pada hal di dalam bahasa. Untuk
memahami apa yang terjadi di dalam sebuah percakapan, misalnya, kita perlu
mengetahui siapa saja yang terlibat di dalamnya, bagaimana hubungan dan jarak
sosial di antara mereka, atau status relatif di anatara mereka. Marilah kita
perhatikan penggalan-penggalan percakapan berikut ini. (1) A: Setelah ini,
kerjakan yang lain. B: Baik, Bu. (2) C: Bantuin, dong! D: Sabar sedikit kenapa,
sih? Sebagai penutur bahasa Indonesia, Anda akan dengan mudah mengatakan bahwa
di dalam penggalan percakapan (1) status social A lebih tinggi dari B,
sedangkan di dalam penggalan percakapan (2) C dan D mempunyai kedudukan yang
sama. Sebuah interaksi sosial akan terjalin dengan baik jika ada syarat-syarat
tertentu terpenuhi, salah satunya adalah kesadaran akan bentuk sopan santu.
Bentuk sopan santun dapat diungkapkan dengan berbagai hal. Salah satu penanda
sopan santun adalah penggunaan bentuk pronominal tertentu dalam percakapan. Di
dalam bahasa Indonesia kita jumpai anda dan beliau untuk menghormati orang yang
diajak bicara. Di dalam bahasa Prancis kita jumpai pembedaan kata tu dan vouz
untuk menyebut orang yang diajak bicara. Bentuk lain dari sopan santun adalah
pengungkapan suatu hal dengan cara tidak langsung. Contoh ketidaklangsungan
dapat kita lihat dalam penggalan percakapan berikut ini. (3) A: Hari ini ada
acara? B : Kenapa ? A : Kita makan-makan, yuk! B: Wah, terima kasih, deh. Saya
sedang banyak tugas! Di dalam penggalan percakapan di atas, B secara tidak
langsung menolak ajakan A untuk makan. B sama sekali tidak mengatakan kata
tidak. Akan tetapi, A akan mengerti bahwa apa yang diucapkan B adalah sebuah
penolakan. Kata terima kasih yang diungkapkan oleh B bukanlah bentuk
penghargaan terhadap suatu pemberian, tetapi sebagai bentuk penolakan halus.
Hal ini juga diperkuat oleh kalimat yang diujarkan B selanjutnya. Di dalam
percakapan, ketidaklangsungan juga ditemukan dalam bentuk pra-urutan
(pre-sequences). Kita juga sering menemukannya dalam situasi sehari-hari. Di
dalam penggalan percakapan (3) di atas kita melihat pra-ajakan pada kalimat
pertama yang diucapkan oleh A. Di dalam penggalan percakapan (4) kita melihat
prapengumuman pada kalimat pertama yang diucapkan oleh A. (4) A: Sebelumnya
saya mohon maaf. B: Ada apa, Pak? A: Kali ini saya tidak dapat memberi apa-apa.
Kita dapat melihat bahwa suatu hal yang diungkapkan dalam percakapan akan lebih
berterima jika ada semacam “pembuka” di dalamnya. Permohonan maaf dari A pada
contoh (4) di atas merupakan sebuah pengantar untuk penyampaian maksud yang
sebenarnya. Salah satu bentuk ketidaklangsungan dapat ditemukan di dalam mkasud
yang tersirat di dalam suatu ujaran. Di dalam hal ini, ketidaklangsungan
mensyaratkan kemampuan seseorang untuk menangkap maksud yang tersirat, misalnya
kita perhatikan contoh berikut. (5) A: Tong sampah sudah penuh. B: Tunggu, ya.
Aku baca Koran dulu. Nanti kubuang, deh ! Di dalam contoh di atas, A tidak
menyuruh B secara langsung untuk membuang sampah. Akan tetapi, B dapat
menangkap maksud yeng tersirta di dalam ujran A. dapat kita bayangkan bahwa
setelah B membaca Koran ia akan membuang sampah karena hal ini dapat kita
simpulkan dari jawaban B di atas. Jika B tidak peka terhadap maksud A, tentu
jawabannya akan berbeda. Bayangkan saja kalau B hanya menjawab, “Ya, betul.”
C. Implikatur Percakapan
Di dalam bagian sebelumnya kita telah melihat bahwa di
dalam percakapan seorang pembicara mempunyai maksud tertentu ketika mengujarkan
sesuatu. Maksud yang terkandung di dalam ujaran ini disebut implikatur.
Pembicara di dalam percakapan harus berusaha agar apa yang dikatakannya relevan
denga situasi di dalam percakapan itu, jelas dan mudah dipahami oleh
pendengarnya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa ada kaidah-kaidah yang harus
ditaati oleh pembicara agar percakapan dapat berjalan lancar. Kaidah-kaidah
ini, di dalam kajian pragmatic, dikenal sebagai prinsip kerja sama. Grice
(1975) menungkapkan bahwa di dalam prinsip kerjasama, seorang pembicara harus
mematuhi empat maksim. Maksim adalah prinsip yang harus ditaati oleh peserta
pertuturan dalam berinteraksi, baik secara tekstual maupun interpersonal dalam
upaya melancarkan jalannya proses komunikasi. Keempat maksim percakapan itu
adalah maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. a)
Maksim Kuantitas Berdasarkan maksim kuantitas, dalam percakapan penutur harus
memberikan kontribusi yang secukupnya kepada mitra tuturnya. Kalimat (6)
menunjukkan kontribusi yang cukup kepada mitra tuturnya. Bandingkanlah dengan
kalimat (7) yang tersa berlebihan. (6) Anak gadis saya sekarang sudah punya
pacar. (7) Anak gadis saya yang perempuan sudah punya pacar. Di dalam kalimat
(7) kata gadis sudah mencakup makan ‘perempuan’ sehingga kata perempuan dalam
kalimat tersebut memberikan kontribusi yang berlebih. Maksim kuantitas juga
dipenuhi oleh apa yang disebut pembatas, yang menunjukkan keterbatas penutur
dalam mengungkapkan informasi. Hal ini dapat kita lihat dalam ungkapan di awal
kalimat seperti singkatnya, dengan kata lain, kalau boleh dikatakan, dan
sebagainya. b) Maksim Kualitas Berdasarkan maksim kualitas, peserta percakapan
harus mengatakan hal yang sebenarnya. Misalnya, seorang mahasiswa Universitas
Indonesia seharusnya mengatakan bahwa Kampus Baru Universitas Indonesia
terletak di Depok., bukan kota lain, kecuali jika ia benar-benar tidak tahu.
Kadang kala, penutur tidak merasa yakin dengan apa yang dinformasikannya. Ada
cara untuk mengungkapkan keraguan seperti itu tanpa harus menyalahi maksim
kualitas. Seperti halnya maksim kuantitas, pemenuhan maksim kualitas oleh
ungkapan tertentu. Ungkapan di awal kalimat seperti setahu saya, kalau tidak
salah dengar, katanya, dan sebagainya, menunjukkan pembatas yang memenuhi
maksim kualitas. c) Maksim Relevansi Berdasarkan maksim relevansi, setiap
peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan situasi
pembicaraan. Bandingkanlah penggalan percakapan (8) dan (9) berikut ini. (8) A:
Kamu mau minum apa? B: Yang hangat-hangat saja. (9) C: Kamu mau minum apa? D :
Sudah saya cuci kemarin. Di dalam penggalan percakapan (8) kita dapat melihat
bahwa B sudah mengungkapkan jawaban yang relevan atas pertanyaan A. Di dalam
penggalan percakapan (9), sebagai penutur bahasa Indonesia kita dapat mengerti
bahwa jawaban D bukanlah jawaban yang relevan dengan pertanyaan C. Topik-topik
yang berbeda di dalam sebuah percakapan dapat menjdi relevan jika mempunyai
kaitan. Di dalam hubungannya dengan maksim relevansi, kaitan ini dapat dilihat
sebagai pembatas. Ungkapan-ungkapam di awal kalimat seperti Ngomong-ngomong…,
Sambil lalu…, atau By the way… merupakan pembatas yang memenuhi maksim
relevansi. d) Maksim Cara Berdasarkan maksim cara, setiap peserta percakapan
harus berbicara langsung dan lugas serta tidak berlebihan. Di dalam maksim ini,
seorang penutur juga harus menfsirkan kata-kata yang dipergunakan oleh mitra
tuturnya berdasarkan konteks pemakaiannya. Marilah kita bandingkan penggalan
percakapan (10) dan (11) (10) A: Mau yang mana, komedi atau horor? B: Yang
komedi saja. Gambarnya juga lebih bagus. (11) C: Mau yang mana, komedi atau
horor? D: Sebetulnya yang drama bagus sekali. Apalagi pemainnya aku suka semua.
Tapi ceritanya tidak jelas arahnya. Action oke juga, tapi ceritanya aku tidak
mengerti. C: Jadi kamu pilih yang mana? Di dalam kedua penggalan percakapan di
atas kita dapat melihat bahwa jawaban B adalah jawaban yang lugas dan tidak
berlebihan. Pelanggaran terhadap maksim cara dapat dilihat dari jawaban D.
Untuk memenuhi maksim cara, adakalanya kelugasan tidak selalubermanfaat di
dalam interaksi verbal (hal ini dapat kita lihat pula pada bagian yang
membicarakan interaksi dan sopan santun). Sebagai pembatas dari maksim cara,
pembicara dapat menyatakan ungkapan seperti Bagaimana kalau…, Menurut saya… dan
sebagainya.
D. Pelanggaran Terhadap Maksim Percakapan
Pelanggaran terhadap maksim percakapan akan
menimbulkan kesan yang janggal, kejanggalan itu dapat terjadi jika informasi
yang diberikan berlebihan, tidak benar, tidak relevan, atau berbelit-belit. Kejanggalan
inilah yang biasanya dimanfaatkan di dalam humor. Ada berbagai bentuk
pelanggaran di dalam maksim-maksim percakapan. Tentu kita pun pernah mengalami
situasi yang janggal karena ada pembicara yang bertele-tele menyampaikan
maksudnya, ada kesalahpahaman, ketidaksinkronan, dan sebagainya. Pengetahaun
kita mengenai maksim-maksim di atas akan sangat membantu kita dalam memahami
situasi yang demikian.
E. Pertuturan
Di dalam pertuturan ada pertuturan lokusioner,
pertuturan ilokusioner, dan pertuturan perlokusioner. Pertuturan lokusioner
adalah dasar tindakan dalam suatu ujaran, atau pengungkapan bahasa. Di dalam
pengungkapan itu ada tindakan atau maksud yang menyertai ujaran tersebut, yang
disebut pertuturan ilokusioner. Pengungkapan bahasa tentunya mempunyai maksud,
dan maksud pengunkapan itu diharapkan mempunyai pengaruh. Pengaruh dari
pertuturan ilokusioner dan pertuturan lokusioner itulah yang disebut pertuturan
perlokusioner. Pertuturan ilokusioner bertujuan menghasilkan ujaran yang
dikenal dengan daya ilokusi ujaran. Dengan daya ilokusi, seorang penutur
menyampaikan amanatnya di dalam percakapan, kemudian amanat itu dipahami atau
ditanggapi oleh pendengar. Berdasarkan tujuannya, pertututan dapat
dikelompokkan seperti berikut ini. 1. Asertif, yang melibatkan penutur kepada
kebenaran atau kecocokan proposisi, misalnya menyatakan, menyarankan, dan
melaporkan. 2. Direktif, yang tujuannya adalah tanggapan berupa tindakan dari
mitra tutur, misalnya menyuruh, memerintahkan, meminta, memohon, dan mengingatkan.
3. Komisif, yang melibatkan penutur dengan tindakan atau akibat selanjutnya,
misalnya berjanji, bersumpah, dan mengancam. 4. Ekspresif, yang memperlihatkan
sikap penutur pada keadaan tertentu, misalnya berterima kasih, mengucapkan
selamat, memuji, menyalahkan, memaafkan, dan meminta maaf. 5. Deklaratif, yang
menunjukkan perubahan setelah diujarkan, misalnya membaptiskan, menceraikan,
menikahkan, dan menyatakan.
F. Referensi dan Inferensi
Referensi adalah hubungan di antara unsur luar bahasa
yang ditunjuk oleh unsur bahasa dengan lambang yang dipakai untuk mewakili atau
menggambarkannya. Referensi di dalam kajian pragmatik merupakan cara merujuk
sesuatu melalui bentuk bahasa yang dipakai oleh penutur atau penulis untuk
menyampaikan sesuatu kepada mitra tutur atau pembaca. Berkaitan dengan
referensi adalah inferensi. Inferensi adalah pengetahuan tambahan yang dipakai
oleh mitra tutur atau pembaca untuk memahami apa yang tidak diungkapkan secara
eksplisit di dalam ujaran. Untuk memahami referensi dan inferensi, mari kita
perhatikan kalimat-kalimat berikut ini. (1) Seseorang suka mendengarkan musik
dangdut. (2) Orang itu suka mendengarkan musik dangdut. (3) Orang suka
mendengarkan musik dangdut. Sebagai penutur bahasa Indonesia, kita mengetahui
bahwa seseorang adalah ‘orang yang tidak dikenal’ dan orang itu adalah orang
yang ada didekat kita bicara. Kalimat (1) diatas mempunyai referensi tak
takrif, artinya referensi yang tidak tentu. Kalimat (2) mempunyai takrif, apa
yang dirujuknya jelas dan bertolak pada rujukan tertentu, sedangkan kalimat (3)
mempunyai referensi generic, tidak merujuk kepada sesuatu yang khusus, dan
lebih menekankan pada sesuatu yang umum.
G. Deiksis
Deiksis adalah cara merujuk pada suatu hal yang
berkaitanerat dengan konteks penutur. Dengan demikian, ada rujukan yang
‘berasal dari penutur’, ‘dekat dengan penutur’ dan ‘jauh dari penutur’. Ada
tiga jenis deiksis, yaitu deiksis ruang, deiksis persona, dan deiksis waktu.
Ketiga jenis deiksis ini bergantung pada interpretasi penutur dan mitra tutur,
atau penulis dan pembaca, yang berada di dalam konteks yang sama.
a. Deiksis Ruang
Deiksis ruang berkaitan dengan lokasi relative penutur
dan mitra tutur yang terlibat di dalam interaksi. Di dalam bahasa Indonesia,
misalnya, kita mengenal di sini, di situ, dan di sana. Titik tolak penutur
diungkapkan dengan ini dan itu. Marilah kita lihat contoh berikut. A dan B
sedang terlibat di dalam percakapan. A mengambil sepotong kue dan mengatakan,
“Kue ini enak.” Apa yang ditunjuk oleh A, kue ini, tentu akan disebut B sebagai
kue itu. Hal ini terjadi karena titik tolak A dan B berbeda. Kita juga mengenal
kata-kata seperti di sini, di situ dan ini merujuk kepada sesuatu yang
kelihatan atau jaraknya terjangkau oleh penutur. Selain itu, ada kata-kata
seperti di sana dan itu yang merujuk pada sesuatu yang jauh atau tidak
kelihatan, atau jaraknya tidak terjangkau oleh penutur. Dalam hal tertentu,
tindakan kita sering kali bertalian dengan ruang. Jika kita hendak menunjukkan
bagaimana cara mengerjakan sesuatu, misalnya kita memakai kata begini. Jika
kita hendak merujuk kepada suatu tindakan., kita memakai kata begitu.
b. Deiksis Persona
Deiksis persona dapat dilihat pada bentuk-bentuk
pronominal. Bentuk-bentuk pronominal itu sendiri dibedakan atas pronominal
orang pertama, pronominal orang kedua, dan pronominal orang ketiga. Di dalam
bahasa Indonesia, bentuk ini masih dibedakan atas bentuk tunggal dan bentuk
jamak sebagai berikut. Tunggal Jamak Orang pertama Orang kedua Orang ketiga
aku, saya engkau, kau, kamu, anda ia, dia, beliau kami, kita kamu, kalian
mereka Kadang-kadang penutur bahasa menyebut dirinya dengan namanya sendiri. Di
antara penutur bahasa Indonesia, sapaan kepada orang kedua tidak hanya kamu
atau saya, melaikan juga Bapak, Ibu, atau Saudara.
c. Deiksis Waktu
Deiksis waktu berkaitan dengan waktu relative penutur
atau penulis dan mitra tutur atau pembaca. Pengungkapan waktu di dalam setiap
bahasa berbeda-beda. Ada yang mengungkapkannya secara leksikal, yaitu dengan
kata tertentu. Bahasa Indonesia mengungkapkan waktu dengan sekarang untuk waktu
kini, tadi dan dulu untuk waktu lampau, nanti untuk waktu yang akan datang.
Hari ini, kemarin dan besok juga merupakan hal yang relatif, dilihat dari kapan
suatu ujaran diucapkan.
KESIMPULAN
Semantik dan pragmatik merupakan salah satu cabang
ilmu yang dipelajari dalam studi linguistik. Dalam semantik kita mengenal yang
disebut klasifikasi makna, relasi makna, erubahan makna, analisis makna, dan
makna pemakaian bahasa. Sedangkan dalam pragmatik kita mengenal yang disebut
interaksi dan sopan santun, implikatur percakapan, pertuturan, referensi dan
inferensi serta deiksis. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa pragmatik
berhubungan dengan pemahaman kita terhadap hal-hal di luar bahasa. Akan tetapi,
hal-hal yang dibicarakan di dalam pragmatik sangat erat pula kaitannya dengan
hal-hal di dalam bahasa. Adapun semantik adalah subdisiplin linguistik yang
membicarakan makna yaitu makna kata dan makna kalimat.