PRAGMATIK DAN LINGKUPNYA
Istilah pragmatik sebagaimana kita
kenal saat ini dapat ditelusuri melalui nama seorang filosof Charles Morris
(1938) yang mengolah kembali pemikiran para filosof pendahulunya (Locke dan
Pierce), mengenai ilmu tanda atau semiotik (semiotics). Dikatakan oleh
Morris bahwa semiotik memiliki tiga cabang kajian, yaitu sintaksis (syntax),
semantik (semantics), dan pragmatik (pragmatics). Sintaksis
adalah kajian tentang hubungan formal antar tanda; semantik adalah kajian
tentang hubungan tanda dengan objek tanda tersebut (designata); dan
pragmatik adalah kajian tentang hubungan tanda dengan orang yang
menginterpretasikan tanda itu (Levinson, 1985: 1; Nababan, 1987: 1; Purwo,
1990: 11; Wijana, 1996: 5).
Meskipun semantik dan pragmatik
sama-sama berurusan dengan makna, namun keduanya memiliki perbedaan. Semantik
memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan dua segi (dyadic),
sedangkan pragmatik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan
tiga segi (triadic). Dengan demikian, makna dalam pragmatik diberi
definisi dalam hubungannya dengan penutur atau pemakai bahasa, sedangkan dalam
semantik, makna didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan dalam
bahasa tertentu terpisah dari situasi, penutur, dan petutur (Leech, 1983: 8).
Semantik sebagai salah satu cabang
(linguistik mengkaji makna bahasa (linguistic meaning, linguistic sense)
secara internal, sedangkan pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari
makna penutur (speaker meaning, speaker sense) yang bersifat eksternal
(Wijana, 1997: 7; 1999: 6). Semantik adalah telaah makna kalimat (sentence),
sedangkan pragmatik adalah telaah makna tuturan (utterance). Pada
dasarnya, semantik menelaah makna kata atau klausa tetapi makna yang bebas
konteks (context-independent), sedangkan pragmatik menelaah makna yang
terikat konteks (context-independent) (Purwo, 1990: 16).
Leech (1983: 1) menyatakan bahwa
pragmatik adalah studi mengenai makna ujaran dalam situasi-situasi tertentu.
Bila dikaitkan dengan semantik, studi semantik bersifat komplementer yang
berarti bahwa studi tentang penggunaan bahasa dilakukan baik sebagai bagian
terpisah dari sistem formal bahasa maupun sebagai bagian yang melengkapinya.
Levinson (1985: 1) menyatakan bahwa “pragmatics, the study of the relation
of signs to interpreters“. Pengertian/pemahaman bahasa menunjuk pada fakta
bahwa untuk mengerti suatu ungkapan/ ujaran bahasa diperlukan juga pengetahuan
di luar makna kata dan hubungan tata bahasanya, yakni hubungan dengan
konteksnya. Sementara Parker (dalam Wijana, 1996: 2) menyatakan “Pragmatics
is distinct from grammar, which is the study of languange use to communicate.
Sebagai konklusi Purwo (1990: 16) menyatakan bahwa pragmatik adalah telaah
mengenai segala aspek makna yang tidak tercakup dalam teori semantik.
Dari definisi-definisi di atas
terlihat bahwa pragmatik akan selalu berhubungan dengan penutur dan makna yang
dipengaruhi oleh situasi. Oleh karenanya sebuah tuturan bisa memiliki makna
yang berbeda dari makna secara semantis. Hal itu berarti bahwa makna dalam
pragmatik bersifat eksternal karena dipengaruhi oleh konteks, sedangkan makna
dalam semantik bersifat internal. Terjadinya perbedaan makna tersebut
disebabkan oleh konteks yang digunakan. Konteks yang dimaksud adalah ihwal
siapa yang mengatakan, kepada siapa, tempat, dan waktu diujarkannya suatu
kalimat, anggapan-anggapan mengenai yang terlibat dalam tindakan mengutarakan
kalimat (Purwo, 1990: 14).
Oller (dalam Yalden, 1985: 54)
mendefinisikan pragmatik sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara bentuk
linguistik dan konteks. Secara logis aliran pragmatik juga melibatkan
sintaksis, suatu bentuk linguistik tertentu yang berhubungan dengan setting
paralinguistik yang sering disebut sebagai cash-value dari suatu kata
tertentu. Cash-value ditentukan oleh aturan-aturan kebahasaan sehubungan
dengan konteks paralinguistik yang berlaku yang bisa memberi arah bagi penutur
untuk menggunakan suatu istilah tertentu. Teori pragmatik -menekankan pada
fungsi bahasa dalam komunikasi riil karena makna setiap kata akan sangat
bergantung pada fungsi yang dimainkan oleh bahasa tersebut dalam komunikasi
yang sedang berlangsung. Teori pragmatik fungsional ini lebih cenderung
bersifat sosial daripada psikologis.
Berkait dengan pengertian pragmatik
di antaranya ada rumusan-rumusan lain sebagai berikut :
1. “Pragmatik adalah kajian tentang
hubungan antara bahasa dengan konteks ditatabahasakan atau yang dikodekan pada
struktur bahasa.” (Pragmatics is the study of those relations between
language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of a
language) (Levinson, 1985: 9).
2. “Pragmatik adalah kajian tentang
hubungan antara bahasa dengan konteks yang menjadi dasar untuk mengartikan
bahasa itu”. (Pragmatics is the study of the relations between language and
contexts that are basic to an account of language understanding).
(Levinson, 1985: 21).
3. “Pragmatik adalah kajian tentang
kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang
sesuai sehingga kalimat-kalimat tersebut dapat dimaknai.” (Pragmatics is
the study of the ability of langunge users to pair sentences with the contexts
in which they would be appropriate) (Levinson, 1985: 24).
Definisi-definisi di atas
menunjukkan bahwa yang menjadi fokus pragmatik adalah hubungan antara bahasa
dan konteks. Konteks menurut Hymes meliputi enam dimensi. Pertama, tempat dan
waktu (setting); seperti di ruang kelas, di pasar, stasiun, masjid, dan
warung kopi. Kedua, pengguna bahasa (participants); seperti dokter
dengan pasien, dosen dengan mahasiswa, penjual dengan pembeli, menteri dengan
presiden, dan anak dengan orang tua. Ketiga, topik pembicaraan (content);
seperti pendidikan, kebudayaan, politik, bahasa, dan olah raga. Keempat, tujuan
(purpose); seperti bertanya, menjawab, memuji, menjelaskan, dan
menyuruh. Kelima, nada (key); seperti humor, marah, ironi, sarkastik,
dan lemah lembut. Keenam, media/saluran (channel); seperti tatap muka,
melalui telepon, melalui surat, melalui e-mail, dan melalui telegram (dalam
Nurkamto, 2002: 2).
Sedangkan menurut Levinson (1985:
54) konteks di mana ujaran diproduksi, atau istilahnya adalah deixis,
merupakan hal yang juga menjadi perhatian di dalam pragmatik. Ia memberikan
contoh sebuah kalimat (Levinson, 1985: 54-55)yang kita baca dari tempelan
yang ada di sebuah pintu kantor seseorang:
I’ll be back in an hour.
Kalimat ini susah untuk
diinterpretasi sebab kita tidak tahu kapan kalimat tersebut ditulis,
sehingga kita pun tidak tahu kapan ia bakal kembali. Ia lalu memberikan contoh
kalimat lainnya yang misalnya kita peroleh dari dalam sebuah botol yang
terapung di laut:
Meet me here a week from now with a stick about this
big.
Kalimat tersebut bakal susah
diinterpretasikan sebab informasi yang ada tidaklah mencukupi. Kita tidak tahu siapa
yang bakal ditemui, di mana atau kapan bakal kita temui, atau seberapa
besar tongkat yang harus kita bawa. Dari sinilah sebenarnya terpahami bahwa
ujaran yang kita temui sehari-hari terikat kuat dengan aspek-aspek konteks
ujaran. Levinson kemudian menjabarkan macam-macam deixis berdasarkan rujukannya
atas tulisan Bühler, Frei, Fillmore, dan Lyons (1985: 61). Macam-macam deixis
tersebut adalah:
1. person deixis yang merujuk pada pemilihan
pronomina yang bergantung pada konteks ujaran.
2. time deixis yang merujuk pada perbedaan antara
saat pengujaran (moment of utterance) yang disebut juga dengan coding
time (CT) dengan saat penerimaan suatu ujaran (moment of reception)
atau juga diistilahkan dengan receiving time (RT).
3. place deixis atau space deixis merujuk
pada kekhasan tempat yang menyebabkan perbedaan ujaran.
4. discourse deixis merujuk kepada penggunaan ungkapan
yang mengikut pada konteks wacana sebelumnya.
5. social deixis yang merujuk kepada aspek-aspek
ujaran yang terikat pada beberapa realitas situasi sosial menurut terjadinya
ujaran.
Kemudian Levinson juga memaparkan
lingkup pragmatik lainnya yaitu implicature. Implicature menempati
posisi penting di dalam kajian pragmatik disebabkan oleh empat alasan
(Levinson, 1985: 97-100). Alasan pertama adalah konsep implicature dapat
menjelaskan fungsi makna dari fenomena linguistik bahwa penyusunan ujaran
terkait dengan interaksi antarmanusia. Alasan kedua adalah bahwa implicature
dapat menjelaskan interpretasi sebuah ajaran lebih daripada yang sebenarnya ‘dikatakan’.
Alasan ketiga adalah bahwa implicature berkait dengan simplifikasi
substansial berkait dengan baik struktur ujaran maupun konten
deskripsi-deskripsi semantis. Alasan terakhir adalah konsep implicature
menjadi penting di dalam beraneka rupa fakta mendasar mengenai bagaimana bahasa
seharusnya diletakkan.
Konsep implicature sendiri
merupakan konsep yang diusulkan oleh Herbert Paul Grice. Implicature
secara istilah adalah suatu teori tentang bagaimana manusia menggunakan bahasa
(Levinson, 1985: 101-102). Grice mengajukan lima prinsip penggunaan bahasa,
yaitu:
1. The co-operative principle; sebab penggunaan bahasa atau
komunikasi adalah proses yang bukan satu arah, maka kontribusi yang memadai
diperlukan. Partisipan harus saling berkerjasama di dalam percakapan.
2. The maxim of Quality; agar komunikasi berjalan baik
maka: (i) jangan katakan apa yang diyakini salah, (ii) jangan katakan hal yang
tidak mempunyai kecukupan bukti.
3. The maxim of Quantity; (i) kontribusi yang diberikan
partisipan haruslah informatif dalam kerangka ketepatan komunikasi, (ii) jangan
memberikan kontribusi yang melebihi kerangka kebutuhan informasi yang
dibutuhkan di dalam komunikasi tersebut.
4. The maxim of Relevance; berikan kontribusi yang relevan.
5. The maxim of Manner; berikan kontribusi ujaran yang
jelas dan dapat dipahami, serta secara khusus: (i) hindari obscurity
(ketidakjelasan atau kesulitdimengertii), (ii) hindari ambiguity
(ambiguitas), (iii) be brief (tidak usah bertele-tele), (iv) be
orderly (runtut).
Konsep yang diusulkan oleh Grice
sendiri mengalami kesulitan di dalam praktiknya karena tidak semua percakapan
mengandung semua prinsip yang ia kemukakan. Meskipun demikian, sumbangsih Grice
mengenai konsep ideal dari percakapan merupakan bahan kajian yang menarik di
dalam pragmatik. Meskipun konsep tersebut dapat dikatakan berhasil digambarkan
dalam film The Invention of Lying (2009). Hal lainnya yang juga menjadi
objek kajian pragmatik adalah presupposition (persangkakiraan), speech
acts (tindak tutur) yang diperkenalkan oleh John Langshaw Austin lalu
kemudian dipermak oleh John Rogers Searle, dan conversation analysis.
-
DAFTAR PUSTAKA
Leech, Geoffrey. 1983. The Principle of Pragmatics.
London: Longman Group UK. Limited.
Levinson, Stephen C. 1985. Pragmatics.
Cambridge: Cambridge University Press.
Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik (Teori dan
Penerapannya). Jakarta: Depdikbud. Proyek Pengembangan Tenaga Kependidikan.
Nurkamto, Joko. 2002. Pragmatik. Surakarta:
FKIP Universitas Sebelas Maret.
Purwo, Bambang K. 1990. Pragmatik dan Pengajaran
Bahasa Menyibak Kurikulum 1984. Yogyakarta: Kanisius.
Latsis, Paris K. et al (Produser); Ricky Gervais
(Sutradara); & Matthew Robinson (Sutradara). 2009. The Invention
of Lying. United States: Warner Bros. Pictures.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik.
Yogyakarta: Andi.
________. 1997. Linguistik, Sosiolinguistik, dan
Pragmatik. Yogyakarta: Makalah Temu Ilmiah Bahasa dan Sastra 26-27 Maret.
________. 1999. Semantik dan Pragmatik. Makalah
Seminar Nasional Semantik I. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Yalden, Janice. 1985. The Communicative Syllabus
Evolution, Design, and Implementation. New York: Pergamon Press.
terima kasih atas informasi dan artikelnya...sangat membantu untuk mengerjakan tugas gan...
BalasHapuskunjungi balik di sini ya gan...terima kasih...
terima kasih atas informasi dan artikelnya...sangat membantu untuk mengerjakan tugas gan...
BalasHapuskunjungi balik di sini ya gan...terima kasih...